“Game hanya daya tarik buat anak-anak untuk mengikuti kegiatan semacam ini. Berikutnya kami mengarahkan kalau mereka juga bisa bikin cerita, animasi, kartun, musik, dan lainnya. Ada banyak sekali hal yang bisa dihasilkan (dengan pemrograman),” jelas Budi Chang, Founder dan CEO EKTIZO, startup yang bergerak di ranah edukasi.
Hour of Code merupakan gerakan yang diprakarsai organisasi nirlaba Code.org. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan ilmu komputer kepada anak-anak sekolah lewat tutorial pemrograman yang simpel dan singkat. Biasanya, tutorial itu dapat dituntaskan dalam waktu satu jam saja.
Dijelaskan oleh Budi, EKTIZO dan JCI memiliki tujuan yang senada dengan Code.org, yaitu ingin meningkatkan minat generasi muda terhadap pemanfaatan teknologi. Ia melihat anak-anak muda saat ini, terutama yang tinggal di kota-kota besar, kebanyakan lahir sebagai user atau consumer.
“Mereka cepat sekali mengadaptasi teknologi. Kadang orang tuanya bangga, dalam satu atau dua hari sang anak sudah bisa menguasai gadget. Kebanggaan itu ternyata semu, karena anaknya hanya jadi consumer,” jelas Budi.
Sebaliknya, Ia menambahkan, anak-anak di daerah tumbuh cukup kreatif, tetapi gaptek karena orang tuanya tidak mampu membelikan gadget. Akhirnya mereka tidak mengenal teknologi.
“Kami ingin mengisi gap itu dan berharap di masa yang akan datang mereka akan menjadi anak-anak muda yang lebih siap secara skill dan pengetahuan,” jelas Budi.
Menggunakan tool yang simpel
Lewat Hour of Code, EKTIZO dan JCI memperkenalkan tool yang diharapkan dapat membuat orang tua bangga karena anaknya tidak hanya menjadi consumer saja, tetapi juga sebagai creator atau producer. Pada Hour of Code yang didukung oleh Microsoft Indonesia ini, tool yang digunakan adalah Code Studio besutan Code.org.
Tool berbasis web itu menyediakan beragam kumpulan tutorial yang dikemas seperti game. Nantinya, Budi mengatakan, setelah anak-anak terbiasa dengan Code Studio, mereka bisa meneruskan belajar coding menggunakan Scracth, tool serupa yang dikembangkan oleh Massachusetts Institute of Technology. Lalu, untuk tingkat SMP atau SMA, diperkenalkan tool dengan tingkat yang lebih mahir, yaitu App Inventor.
“Tool-nya banyak sekali. Lucunya, semuanya gratis. Tetapi, kalau tidak dapat bimbingan, atau belajar di suatu lembaga yang dapat membina mereka, anak-anak akan cepat bosan,” kata Budi.
Ia menganalogikan tool coding untuk anak-anak sama seperti pensil warna. Kalau tidak belajar dengan guru yang bagus, akhirnya anak-anak cuma corat-coret saja. Karena itu sekarang ini banyak ditemukan lembaga-lembaga yang mengajarkan coding pada usia dini. Sebut saja Coding Indonesia, Clevio Coder Camp, dan termasuk EKTIZO Education.
Bersiap keliling Indonesia
Seperti misi Hour of Code untuk memperkenalkan coding pada 200 juta pelajar di seluruh dunia, EKTIZO dan JCI sudah merencanakan roadshow ke beberapa kota di Indonesia. Selain Jakarta, acara ini akan kembali diadakan di Depok. Bandung, Surabaya, Bali, Medan, Kalimantan, dan Sumatra.“JCI memiliki 24 chapter aktif di Indonesia, yang diawali di Jayakarta. Nanti tergantung dari chapter-chapter ini, apakah mereka mau menyelenggarakan atau tidak,” ucap Gaudi Agathon, President JCI Jayakarta untuk tahun 2016.
Sebelum berkolaborasi dengan JCI, Budi sudah mengadakan Hour of Code sejak 2013. Hour of Code pertama diadakan pada 11 Desember 2013, dua hari setelah gerakan ini diluncurkan di AS.
“Mungkin itu Hour of Code pertama di Indonesia. Kami sudah cek dengan teman-teman yang lain, belum ada yang menyelenggarakan seawal itu,” jelas Budi.
Menurutnya, sampai sekarang, tercatat sudah lebih dari 3.000 anak di berbagai daerah di Indonesia telah diperkenalkan dengan coding. Tampaknya, angka tersebut akan semakin bertambah, mengingat tahun ini telah direncanakan Hour of Code di sejumlah kota.
(sumber : techinasia.com)
0 komentar:
Post a Comment